Hari ini kubuka lagi mata yang tertutup semalaman. Sehabis
terlelap menikmati tidur yang sebentar. Terlihat selalu adalah foto dari
keluarga besar. Peninggalan yang diabadikan leluhur dan moyangku. Foto kusut
yang dipigura menyerupai lukisan. Karena memang waktu itu belum ada foto
digital modern. Sengaja kutaruh dan kusimpan dikamar, agar tak kulupa darimana
kuberasal. Segelas kopi lagi menemani, mengundang tanya tentang
silsilah, bahkan sampai legenda. Ibuku yang selesai sholat subuh menyiapkan
segala perlengkapan bertempurnya didapur. Sungguh pemandangan biasa.
Pertanyaan muncul begitu saja hingga tangan ini menari
diatas keyboard hitam. Kutanya ibuku, namun tak ada jawaban. Yasudah, mungkin
beliau belum begitu berkeinginan untuk membicarakan sesuatu yang berbobot.
Kutinggal saja keatas mengambil satu dua gelas sisa tadi malam. Beberapa orang
terlihat berlarian, aku tak heran. Rumahku memang berada didepan Kampus, lebih
tepatnya Akademi. Pendidikannya seperti militer, hampir setiap jamnya terdengar
suara teriakan. Entahlah, itu siksaan atau hanya bagian dari sistem pendidikan
mereka.
Ketika usiaku baru beranjak belum memasuki TK.
Pernah ku kunjungi rumah keluarga besarku yang berasal dari nenek. Yah memang,
nenekku keturunan ningrat dan bangsawan terkemuka dulunya. Ibuku pun sekarang
masih menyandang gelar Raden Ayu. Gelar yang sama sekali tak berguna dijaman dan
abad modern sekarang. Sedang ayahku hanya dari golongan umum, rakyat biasa yang
sama sekali tak ada kaitan dan hubungan dengan Keraton. Pernah dulu
kala sewaktu masa SMP, salah seorang temanku memiliki nama depan Raden. Kurasa
itu hanya sebuah nama, sedang Raden yang kuketahui adalah gelar. Sudahlah, itu
urusan mereka.
Rumah kakek dan nenek buyutku berada jauh dari kediamanku, seperti melihat film jaman dulu saja. Rumah yang sangat luas, memiliki
pendopo, dan kebun pribadi. Tebal temboknya 3 meter, terbuat dari putih telur,
atap yang sangat tinggi. Persis seperti bangunan gereja tua. Juga ada sebuah
menara, nampak dari kejauhan seperti tower atau mercusuar. Itu adalah kantor
pribadi kakekku yang sangat tinggi. Terkesan unik karena semua rumah peninggalan kakek dan nenekku termasuk buyut memiliki undakan tinggi. Seperti panggung terlihat dari luar. Didepan rumahnya ada kebun sawo dan dikelilingi kebun salak. Jendela dan pintu berukir yang dilindungi besi seperti sel diluarnya. Taman indah didalam rumah, bisa diimajinasikan betapa luasnya. Almari yang seluruhnya dari kayu dan dilapisi besi. Bangga sekali hati melihat bahwa leluhur
dan moyangku adalah orang yang berkelas. Sayang, itu hanya sebatas leluhur.
Terlekang oleh waktu dan tak akan terulang pada keturunan berikutnya. Begitu
banyak legenda dan cerita dari sana, hingga sampai sempat tersiar pada koran
lokal. Rumah moyangku itu sampai sekarang masih mempunyai juru kunci, yang
diwariskan turun temurun. Mereka adalah pengikut setia moyangku.
Suatu ketika pada hari libur karena masih masa
lebaran, kami sekeluarga besar berkumpul kembali. Ritual itu biasa disebut
dengan syawalan atau apalah, aku tak begitu peduli membahasnya. Banyak juga
dari mereka yang tak kukenal, karena keturunan itu memang banyak dan menjamur
dimana-mana. Dari situ kuperoleh asap inspirasi yang mengundang rasa keingintahuan lebih lagi. Sempat salah seorang keluarga berbicara didepan khalayak
menggunakan mic dan menjelaskan silsilah. Dibantu dibelakangnya layar besar
dari proyektor menunjukan foto-foto keluarga jaman dahulu.
Sebatas saat ini yang kuketahui masih sangat dangkal. Dari
moyang yang hidup dari tahun 1800an, sebelum itu sudah tak ada lagi ditemukan
data yang pasti. Ini yang kuketahui, buyut atau mungkin malah lebih, bernama Ki
Demang Djojo Sentono. Dipanggil Ki karena sebagai orang yang dituakan didaerahnya. Bergelar Demang, sedangkan Demang adalah jabatan kepala daerah dijaman pemerintahan Hindia Belanda yang setingkat dengan Camat atau Adipati. Hidup dijaman yang sangat kuno, mungkin sepeda pun belum ada. Hanya mengenakan kuda saja sebagai kendaraan sehari-hari. Kemudian Ki Demang Djojo
Sentono berkeluarga dan memperoleh putra bernama Raden Wignyotaruno. Itulah kakek
buyutku, hidup dijaman kolonial. Bersekolah dan dididik oleh orang asing.
Mungkin itulah yang menyebabkan keluarga kami disegani. Sebab pada jaman itu
sama sekali jarang ditemukan orang yang bersekolah. Apalagi bisa berbahasa Belanda. Sedangkan semua kakekku fasih berbahasa Belanda, juga mempunyai nama Belanda. Peranakan itu turun temurun dan dilanjutkan dengan nenekku. Nenekku
mempunyai 8 orang anak, jaman dulu banyak sekali orang yang beranak
banyak. Dan ibuku adalah anak yang ke 7. Generasi yang belum begitu
banyak hingga padaku. Namun itu lebih dari yang kukira saja ternyata.
Pernah kuteringat sewaktu SMA, salah seorang guru yang
menjadi kepala sekolah setelahnya menanyakan alamatku. Kujawab dengan tegas,
beliau heran dan tak percaya. Yah, itu terserah saja, karena alamat rumahku itu
adalah alamat seorang Raden yang ternama konon. Itu tak mengejutkanku, sewaktu kuliah pun salah seorang dosen editing menanyakan hal yang sama dengan
raut wajah yang keheranan pula. Itulah orang tua yang menghormati warisan feodal, berbeda dengan sekarang.
Status darah biru atau ningrat sekalipun tak menjadi apa selain hanya cerita.
Tak akan mengubah nasib dan kedudukan lagi seperti pada masanya.
Berkunjung ke makam, aku selalu melihat heran. Sebuah makam
nan megah terbuat dari batu yang melingkarinya. Sangat berbeda dari yang
lainnya, terkesan terlalu megah dan menunjukan status sosial yang tinggi.
Dipojoknya terlihat sebuah bendera terbuat dari besi bertuliskan pahlawan. Apa
moyangku itu pahlawan? Mungkin saja. Namun aku belum pernah bertemu salah satu
dari mereka sekalipun. Hanya nenekku saja yang pernah kulihat, itupun saat aku
masih di bangku TK. Keturunan yang banyak menyebabkan keturunan yang terakhir
kesulitan melihat raut wajah moyang mereka.
Rumah nenekku agak berbeda dengan rumah buyutku, tembok yang
tak terlalu tebal. Namun masih memiliki pendopo karena itu adalah tradisi
keluarga. Pendopo adalah tempat yang luas biasa digunakan untuk hajatan. Kurang lebih luasnya 1 lapangan futsal, itu yang tertutup oleh genteng. Di beberapa generasi, keluarga yang mempunyai pendopo adalah seorang
bangsawan dan ningrat. Itu pernah kutanyakan pada ibu tercinta, dan memang ternyata.
Setiap ada pertunjukan tinju, pendopo nenekku penuh dengan orang yang ingin
melihat siaran di layar hitam putih. Televisi pertama yang ada di negara kita. Dikelilingi oleh kebun salak milik keluarga, dan satu ruangan tempat menaruh kuda. Yang kuingat disana hanyalah aku duduk melihat keluarga lainnya bermain volly.
Selain mempunyai pendopo yang luas, rumah nenekku juga mempunyai lapangan
volly. Sungguh seperti bangsawan pada umumnya, luas tanah yang lebih dari 5
rumah besar sekarang ini. Pendopo tadi juga pernah dipakai oleh beberapa
pasukan sewaktu jaman Diponegoro untuk beristirahat. Nyata atau tidaknya, aku
tak tahu. Itu cerita ibuku semasa kecilnya dan turun temurun sampai padaku.
Pada masa nenekku muda, sedikit sekali orang yang mempunyai
kendaraan. Ya, waktu itu kendaraan umum adalah kuda. Dan kakekku adalah salah
satu penunggang kuda, tak lama setelah ibuku lahir barulah mulai beredar sepeda
motor. Namun tak semua bisa merasa, hanya segelintir saja yang dinilai mampu. Kalau bukan anak seorang lurah, tak akan bisa dulu ibuku menikmati masanya mengendarai sepeda motor. Aku jarang memakai kata kakek dalam keluarga ibuku, beliau pulang lebih segera saat ibuku masih sekolah.
Mendengar beberapa kata dari sang ayah, sungguh tragis cerita dari ayahku, salah seorang keluargaku
yang mempunyai “kekancingan” sekarang ini mengais rejeki dengan meminta belas
kasihan keluarga yang lain. Kekancingan adalah surat resmi dari Keraton
Yogyakarta yang menunjukan ada hubungan kerabat. Digenerasiku sudah tak ada,
itulah sebabnya aku tak mempunyai gelar raden yang memang tak kuharapkan,
mungkin akan kurindukan suatu hari nanti menjelang ajal. Namun pada generasi
ibuku kekancingan itu masih ada dan berlaku, jika mengunjungi makam
pakde-pakdeku, selalu saja nama depan mereka masih bergelar Raden. Kekancingan
tadi berupa tulisan juga ada beberapa pesan dari moyang. Ah.... sungguh
menimbulkan pertanyaan dan ingin bertemu langsung dengan mereka.
Aku tak merasa asing dengan rumah nenekku yang seperti
istana itu, namun aku merasa asing dengan kediaman buyutku yang seperti
benteng tak bertuan. Pernah kami dan beberapa keluarga kesana untuk sekedar menengok saja.
Kuambil beberapa barang yang pantas untuk dijadikan hiasan dan peninggalan
daripada termakan rayap dan pencuri rendahan. Beberapa gelas unik, gong, keris, mebel kayu, perabotan
dari kuningan, serta beberapa keping uang logam yang ditengahnya berlubang.
Sungguh seperti artis saja, berkunjung disana dilihat banyak orang. Bak
keluarga raja yang melihat kembali istana mereka.
Yang ada dirumahku hanyalah sebatas kursi dan meja ukiran
dari kayu saja, ada juga beberapa almari yang sangat tinggi seperti peti mati.
Tak ditemukan lagi yang lainnya karena memang itu sudah dibagi oleh beberapa
generasi. Ini seperti melihat film, foto peninggalan moyangku dari
semuanya yang lelaki dan wanita memakai busana seperti keraton sehari-hari.
Entahlah, itu jarang kutemui kecuali pada hari Kartini.
Sudah selayaknya ku jaga nama baik mereka, itu juga berlaku bagi siapa saja. Aku tau cerita dan legenda keluargaku, apa kau juga? Jika dibahas, tak akan habis dimana legenda keluarga itu
bermulai. Peninggalan mereka yang tersisa hanya sebatas tanah dan cerita.
Itulah yang kubanggakan sendiri didalam hati, karena ibuku, seorang Raden Ayu
yang memiliki keluarga dan cerita hebat dimasa dulu. Beberapa orang tak percaya, itu urusan mereka. Ada yang mengira aku gila karena jaman dulu kala belum ada foto apalagi cetak. Karena memang benar, dulu hanya orang ternama saja yang bisa berfoto ria. Sudahlah tak mengapa, masa jaya itu sudah lama sirna dan termakan waktu. Tak ada yang membuatku beda dengan yang lain kecuali aku mengetahui sejarah dan darimana kuberasal. Bahagia itu sederhana, cerita kisah lama keluarga dan legendanya. Memang mau bercerita apa lagi?
Foto Keluarga Besar Raden Wignyotaruno diambil tahun 1927 (nenekku masih dalam kandungan)
R. Wignyotaruno