Waktu menunjukan pukul 21.21 waktu setempat. Kami dan mereka, ya para pendosa. Sekelompok kecil temanku semasa sekolah di SMA terpencil bagian Yogyakarta. Merencanakan ritual monoton yang kami dan para remaja labil sebut dengan malam mingguan. Sementara mereka penghuni surga sedang menikmati malam yang rawan dosa itu dengan keluarga dan kerabat dekat. Melewati detik terpanjang setiapnya, kami berangkat dan bertempur dengan rasa hati kami yang menggebu. Pukul 22.00 lewat sudah, jalanan masih diselimuti dengan kabut manusia yang merayakan satu terakhir dari tujuh itu. Duduklah kami menyandarkan disebuah bangku terbuat dari semen, tempat yang biasa kami kunjungi itu. Orang banyak bilang itu adalah titik Nol Kilometer dari kota Yogyakarta. Sebatang demi sebatang sia-sia puntung rokok terbuang disela jalan tanpa rasa bersalah. Sambil mata masih memandang kerumunan manusia mencari sejati diri. Bermacam kelompok dan golongan tanpa beda berdatangan silih berganti. Tibalah kami pada perbincangan tak menarik yang menyebabkan mata perih karena uap sendiri. Seorang teman pencerita beranjak dan beride menyudahi ritual tersebut, namun dengan berat hati dan mengulur waktu akhirnya kami sempatkan 30 menit lagi. Dosa pun tiba tanpa kami minta, rasa bersalah pun menghampiri dengan bersahabat. Seorang kakek tua renta berjalan dari arah selatan menggunakan payung sebagai tungkuan badannya yang bungkuk. Langkah demi langkah dilaluinya dengan bacaan "Astagfirullah". Terlihat betapa sulitnya perjalanannya mendekati para pendosa. Duduklah mendekati salah seorang teman pencerita kami, mengeluarkan selembar kertas bergambar seorang Ibu berkebaya. Bertuliskan lelayu dan 100 hari. Menceritakan aral yang menimpanya sendiri. 4 hari kakek tua itu berada di seputaran Kraton Yogyakarta, sehabis selesai membacakan Yasin kepada seseorang yang di anggapnya Ibu. Sempatlah terlintas dibenak kami seorang kakek tua yang ditinggal keluarga atau sengaja dibuang. Sempat juga rasa suudzon kami yang menganggap kakek tua akan melakukan kejahatan. Rasa takut bercampur iba yang merusak cara pandang dan fikir kami. Meminta pertolongan untuk diantar menuju tempat yang disebut rumah, di jalan Magelang yang memang tak jauh dari rumahku. Bagaimana seseorang kakek bertahan selama 4 hari dan dilupakan sanak dan kerabat. Akhirnya sebuah solusi petunjuk menuntunku untuk mengantar pada penjaga sebuah bank. Kakek terdiam dan langsung pergi menganggap kami yang terlihat tak mau membantu. Tanpa sepatah dua patah kata membelakangi kami beranjak ke dudukan sebelah utara. Sempat duduk dipinggir jalan mengais belas kasihan pendosa lain yang melintas. Tanpa hirauan mereka mengacuhkan. Sempat pula seorang pendosa menganggap seorang kakek yang linglung dipinggir jalan. Bertanyalah pendosa, diberi jawaban kemudian diabaikan dan berlalu. Tangisan terdengar dari arah utara, seorang kakek memanggil Yang Kuasa minta belas kasihan. Seorang pemuda yang kami anggap sesudahnya adalah penghuni surga menghampiri kakek tua. Terjadilah obrolan manusia sesungguhnya yang kami rasa bukanlah kami pantas mendengarkan. Rasa penasaran akan kejahatan dan kenyataan. Terdiam sejenak kami pun berpikir sendiri dalam hati. Melihat pemuda yang peduli dengan keadaan lainnya. Mengeluarkan motor yang besar, mewah dan megah. Niat membawa kakek tua kembali kerumahnya. Dibantu seorang ajudan muda yang bisa juga utusan surga. Mengangkat tubuh renta ke mesin modern abad ini. Pergilah mereka menuju jalan Magelang tempat yang seharusnya tinggal. Rasa taruhan membimbing penasaran kami akan kenyataan dan kejahatan. Senda gurau sempat keluar dari salah seorang pencerita. 15 menit lewat akhirnya penghuni surga kembali ke peradaban malam. Rasa berdosa kami menjadi semakin setelah mengetahui kakek itulah kenyataan. Kami menutup muka melintas melewati para penghuni surga. Bukan saatnya, tidak siapnya kami mengemban amanat dari surga. Inilah sabtu malam para pendosa.