Pagi ini rasanya dingin sekali. Seperti biasanya ibuku sedang menyapu dihalaman. Beberapa pemuda penghuni kost kadang menyapa. Ya, aku tinggal dirumah bekas kakekku yang konon namanya disegani. Meskipun berumur tua, namun sudah didesain sedemikian mengikuti pola modern. Juga ditambah beberapa bangunan yang dulunya hanya berbentuk huruf U seperti bilik berderet. Diantara rumahku itu terselip kamar kecil berumur paling tua berjumlah 12 yang menjadi sumber makanan kami sehari-hari. Ke 12 kamar dihuni oleh mahasiswa yang belajar tepat dikampus depan rumahku. Juga ada 2 rumah kecil sederhana yang setiap tahun berganti penghuni. Sedangkan didepannya terdapat 3 kamar yang lumayan besar, biasanya dihuni oleh pekerja kecil dan pasutri muda. Tanah yang luas itu warisan moyangku, jika ditanya. Rumah kami tepat didepan sendiri, sehingga mudah bagiku untuk kadang melihat dunia luar dari bagian atas rumah. Selagi pagi sempatkan menonton acara favorit. Acara kartun yang seharusnya memang bukan untuk balita. Kadang nilai pesan terkandung didalamnya kental sekali. Setelah selesai biasanya dendangan lagu dalam playlist favorit menemani hingga terang menjelang. Ditemani kopi hitam yang pait dan beberapa batang rokok yang cukup murah sampai menunggu ibu menyiapkan masakannya. Entah kenapa kusuka kopi, mungkin karena mereka juga teman kami. Hari selalu berganti dengan kegiatan yang sama, tak ada bekerja, tak ada belajar, tak ada pergi bermain. Ya memang mau beraktifitas apa lagi? Ritual monoton ini mengingatkanku pada sebuah kejadian belum lama. Sempat terlintas membuat gebrakan lewat segelas kopi hitam yang selalu kunikmati dipagi hari. Segeralah kuhubungi beberapa bangsat karibku. Merekalah yang setuju dan membuatku bergerak lagi. Beberapa modal kecil terkumpul disertai doa ibu tercinta. Masukan dan nasihat orang tua menjadi bekal sehari-hari, walau terkadang tak terkunyah habis dikepala. Itulah mereka orang tua yang cinta kepada titipanNya.
Adikku sudah menginjak bangku kuliah, sibuk dengan urusannya sendiri. Kami kadang seminggu sekali bercengkrama. Sering tak berjumpa karena rutinitas juga. Sedang hal yang membuat keluargaku kecewa adalah keputusanku untuk meninggalkan kuliah. Waktu memang tak terulang dua kali, tapi setidaknya seseorang layak mendapat kesempatan dua kali. Sudahlah yang berlalu, bukanlah pantas lagi dibincangkan dan disesali. Selalu teringat pada pesan guruku dahulu sewaktu bersekolah, kesempatan bukanlah datang karena keberuntungan. Melainkan tercipta dari yang mau maju dan bergerak. Tapi, dorongan kecil saja tetap tak mampu membuatku berpindah langkah. Ya sudah, kucoba lagi setiap hari sambil menunggu yang pasti terjadi.
Dua sampai tiga bulan bersiap diri untuk gebrakan tadi. Kadang tiap tahunnya mencoba keberuntungan di perguruan tinggi. Apa daya ingatan manusia tak seperti mesin pencari. Setelah dianggap siap dan mendapat lokasi, barulah kami memulai diri dengan hal baru. Memang tak seberapa, luasnya tak seperti restoran mewah di hotel berbintang. Menunya tak semahal hidangan bangsawan. Tapi ide kami layak dimasukan dibuku inspirasi jika ada. Acara bola musiman kadang membuat kami tersenyum dan tertawa bahak menghitung laba. Walaupun pada akhirnya itu tak menjadi apa juga selain pengalaman dan mencoba. Empat bangsat karib setiap malamnya bergantian berjaga, hingga akhirnya hanya beberapa tersisa. Satu orang melangkah menuju dunia modern untuk memetik citanya. Satu orang sedang sibuk dengan ritual kerjanya yang selalu berganti jam. Satu lagi berdomisili jauh dan kadang menjaga bola. Jadi kami putuskan untuk sebentar berhenti dari gebrakan ini. Dua bulan bukan akhir yang sia-sia, paling tidak kami sudah berupaya. Persoalan sebenarnya dimulai ketika beberapa wajah baru mulai mencoba membuat perubahan. Perubahan yang menimbulkan perbedaan serta monopoli. Setiap malamnya kami terdiam sibuk dengan urusan masing-masing. Ada juga yang menjadi teman berbagi cerita. Kami awali dengan senyum, dengan senyum juga kami akhiri. Kepulangan kami kembali kerutinitas awal, berpamitan dengan sang pemilik menjadi hal terakhir dari gebrakan disana. Senyumku tak habis disitu, mimpiku berada diantara kehidupan dan kepulangan. Memanglah menjadi sempurna itu lama, teringat pada seorang teman yang tetes keringatnya berjatuhan tahun demi tahun.
Jika Tuhan berkenan, akan kunyanyikan dan ku tarikan perjalananku ini. Yah memang, sinetron itu adalah acara yang membuat para pemimpi tak kuasa menahan jatuhnya. Setidaknya aku masih punya keluarga, dan beberapa mimpi yang tertunda. Ini juga gebrakan kami yang tertunda. Dan pagi yang selalu mengingatkan pada hal itu akhirnya menjadi cerita. Sedikit ceritaku dipagi hari bersama mereka, tentang pendosa yang bermimpi mempunyai dunianya.
Sebuah usaha yang berakhir dengan usaha berikutnya, kami tetap bangga sempat menjadi manusia sesungguhnya yang juga bagian dari dunia pararel. Kami, pagi, cerita dan kopi.